IMPLEMENTASI PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA DAN IDEOLOGI NASIONAL
BAB I
SEJARAH
PERUMUSAN DAN PENETAPAN
PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA
Sejarah perumusan Pancasila ini berawal dari pemberian janji
kemerdekaan di kemudian hari kepada bangsa Indonesia oleh Perdana Menteri Jepang
saat itu, Kuniaki Koiso pada tanggal 7 September 1944, di depan Parlemen
Tokyo.
Pemerintah Jepang menjanjikan kemerdekaan
kepadabangsa indonesia jika Jepang memenangkan peperangan. Janji itu diulangi
lagi pada tanggal 1 Maret 1945 dengan tanpa syarat dan dijanjikan untuk
membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang bertujuan untuk mempelajari
hal-hal yang berhubungan dengan tata pemerintahan Indonesia Merdeka.
BPUPKI dibentuk oleh Gunseikan (Kepala
Pemerintahan Balatentara Jepang di Jawa) pada tanggal 29 April 1945. Susunan
pengurus dan jumlah anggota BPUPKI adalah :
Ketua
: Dr.
Radjiman Wedyodiningrat
Ketua Muda : Raden Panji Soeroso
Ketua Muda : Ichibangase (anggota luar biasa, orang
Jepang)
Anggota : 60
orang tidak termasuk Ketua dan Ketua Muda.
Organisasi ini
mengadakan sidang pertamanya pada tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945 untuk
merumuskan falsafah dasar negara bagi negara Indonesia. Selama tiga hari itu
tiga orang, yaitu, Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno, menyumbangkan
pemikiran mereka bagi dasar negara Indonesia.
1.
Usulan Mr. Muh Yami (29 Mei
1945)
Adapun lima dasar negara yang diusulkan Mr. Muh
Yamin secara lisan dan tertulis. Usulan yang disampaikan secara lisan adalah
sebagai berikut:
a)
Perikebangsaan
b)
Perikemanusiaan
c)
Periketuhanan
d)
Perikerakyatan
e)
Kesejahteraaan Rakyat
Usulan yang dikemukakan secara tertulis adalah :
a)
Ketuhanan Yang Maha Esa
b)
Kebangsaan persatuan Indonesia
c)
Rasa kemanusiaan yang adil dan
beradab
d)
Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan
e)
Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia
2. Usulan Mr. Soepomo (31 Mei 1945)
Mr. Soepomo juga mengusulkan lima dasar negara,
yaitu sebagai berikut:
a) Paham negara persatuan
b) Perhubungan negara dan agama
c) Sistem badan permusyawaratan
d) Sosialisme negara
e) Hubungan antarbangsa
3. Usulan Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
a)
Kebangsaan Indonesia
b)
Internasionalisme atau
perikemanusiaan
c)
Mufakat atau demokrasi
d)
Kesejahteraan sosial
e)
Ketuhanan yang berkebudayaan
Pada akhir pidatonya Soekarno menambahkan bahwa
kelima asas tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang disebut dengan Pancasila,
diterima dengan baik oleh peserta sidang. Oleh karena itu, tanggal 1 Juni 1945
diketahui sebagai hari lahirnya Pancasila.
Pada sidang BPUPKI yang pertama ini juga
dibentuk Panitia Kecil yang terdiri dari 9 orang, yaitu Ir. Soekarno, Drs.
Mohammad Hatta, K.H. Wachid Hasjim, Mr. A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakar,
Abikoesno Tjokrosoejoso, Agus salim, Mr. Achmad Soebarjo, dan Mr. Muhammad
Yamin. Selanjutnya, karena anggotanya sembilan orang, Panitia Kecil ini juga
disebut Panitia Sembilan.
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Kecil
mengadakan rapat dengan tokoh-tokoh BPUPKI dan menghasilkan Piagam
Jakarta (Jakarta Charter). Didalamnya terdapat rumusan dasar negara yang kelak
akan menjadi dasar negara Republik Indonesia setelah mengalami perubahan tujuh
kata dalam dasar yang pertama, yaitu:
a.
Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
b.
Kemanusiaan yang adil dan beradab
c.
Persatuan Indonesia
d.
Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat dalam permusyawaratan perwakilan
e.
Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia
Pada tanggal 17 Agustus 1945, setelah upacara
proklamasi kemerdekaan, datang berberapa utusan dari wilayah Indonesia Bagian
Timur. Berberapa utusan tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Sam Ratulangi, wakil dari Sulawesi
2.
Tadjoedin Noor dan Ir. Pangeran
Noor, wakil dari Kalimantan
3.
I Ketut Pudja, wakil dari Nusa
Tenggara
4.
Latu Harhary, wakil dari Maluku
Mereka semua berkeberatan dan mengemukakan
pendapat tentang bagian kalimat dalam rancangan Pembukaan UUD yang juga
merupakan sila pertama Pancasila sebelumnya, yang berbunyi, “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Pada Sidang PPKI I, yaitu pada tanggal 18
Agustus 1945, Hatta lalu mengusulkan mengubah tujuh kata tersebut menjadi
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengubahan kalimat ini telah dikonsultasikan
sebelumnya oleh Hatta dengan 4 orang tokoh Islam, yaitu Kasman Singodimejo,
Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan Teuku M. Hasan. Mereka menyetujui
perubahan kalimat tersebut demi persatuan dan kesatuan bangsa. Dan akhirnya
bersamaan dengan penetapan rancangan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 pada
Sidang PPKI I tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila pun ditetapkan sebagai dasar
negara Indonesia.
Rumusan inilah yang kemudian dijadikan dasar
negara sampai sekarang bahkan hingga akhir perjalanan bangsa Indonesia. Bangsa
Indonesia bertekad bahwa Pancasila sebagai dasar negara tidak dapat diubah oleh
siapapun, termasuk oleh MPR hasil Pemilu. Jika merubah dasar negara Pancasila
sama dengan membubarkan negara hasil proklamasi.
A.
Butir-Butir Pancasila/Eka Prasetia Panca Karsa
·
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
1.
Percaya dan Takwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.
2.
Hormat menghormati dan
bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang
berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
3.
Saling menghormati kebebasan
menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
4.
Tidak memaksakan suatu agama
dan kepercayaan kepada orang lain.
·
Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
1.
Mengakui persamaan derajat
persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
2.
Saling mencintai sesama
manusia.
3.
Mengembangkan sikap tenggang
rasa.
4.
Tidak semena-mena terhadap
orang lain.
5.
Menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan.
6.
Gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
7.
Berani membela kebenaran dan
keadilan.
8.
Bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap
hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
·
Sila Persatuan Indonesia
1.
Menempatkan kesatuan,
persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan
pribadi atau golongan.
2.
Rela berkorban untuk
kepentingan bangsa dan negara.
3.
Cinta Tanah Air dan Bangsa.
4.
Bangga sebagai Bangsa Indonesia
dan ber-Tanah Air Indonesia.
5.
Memajukan pergaulan demi
persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
·
Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan / Perwakilan
1.
Mengutamakan kepentingan negara
dan masyarakat.
2.
Tidak memaksakan kehendak
kepada orang lain.
3.
Mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4.
Musyawarah untuk mencapai
mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
5.
Dengan itikad baik dan rasa
tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah.
6.
Musyawarah dilakukan dengan
akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
7.
Keputusan yang diambil harus
dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa,
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan
keadilan.
·
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
1.
Mengembangkan
perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan
dan gotong-royong.
2.
Bersikap adil.
3.
Menjaga keseimbangan antara hak
dan kewajiban.
4.
Menghormati hak-hak orang lain.
5.
Suka memberi pertolongan kepada
orang lain.
6.
Menjauhi sikap pemerasan
terhadap orang lain.
7.
Tidak bersifat boros.
8.
Tidak bergaya hidup mewah.
9.
Tidak melakukan perbuatan yang
merugikan kepentingan umum.
10.
Suka bekerja keras.
11.
Menghargai hasil karya orang
lain.
12.
Bersama-sama berusaha
mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Ketetapan ini kemudian dicabut dengan Tap MPR no. I/MPR/2003 dengan 45
butir Pancasila. Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir
ini benar-benar diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.
Ø
Sila pertama (Bintang)
1.
Bangsa Indonesia menyatakan
kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Manusia Indonesia percaya dan
takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.
Mengembangkan sikap hormat
menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan
yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4.
Membina kerukunan hidup di
antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
5.
Agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia
dengan Tuhan Yang Maha Esa.
6.
Mengembangkan sikap saling
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing.
7.
Tidak memaksakan suatu agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Ø
Sila kedua (Rantai)
1.
Mengakui dan memperlakukan
manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa.
2.
Mengakui persamaan derajat,
persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku,
keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan
sebagainya.
3.
Mengembangkan sikap saling
mencintai sesama manusia.
4.
Mengembangkan sikap saling
tenggang rasa dan tepa selira.
5.
Mengembangkan sikap tidak
semena-mena terhadap orang lain.
6.
Menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
7.
Gemar melakukan kegiatan
kemanusiaan.
8.
Berani membela kebenaran dan
keadilan.
9.
Bangsa Indonesia merasa dirinya
sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
10.
Mengembangkan sikap hormat
menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Ø
Sila ketiga (Pohon
Beringin)
1.
Mampu menempatkan persatuan,
kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai
kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
2.
Sanggup dan rela berkorban
untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
3.
Mengembangkan rasa cinta kepada
tanah air dan bangsa.
4.
Mengembangkan rasa kebanggaan
berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
5.
Memelihara ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
6.
Mengembangkan persatuan
Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
7.
Memajukan pergaulan demi
persatuan dan kesatuan bangsa.
Ø
Sila keempat (Kepala
Banteng)
1.
Sebagai warga negara dan warga
masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban
yang sama.
2.
Tidak boleh memaksakan kehendak
kepada orang lain.
3.
Mengutamakan musyawarah dalam
mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
4.
Musyawarah untuk mencapai
mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5.
Menghormati dan menjunjung
tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
6.
Dengan iktikad baik dan rasa tanggung
jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
7.
Di dalam musyawarah diutamakan
kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
8.
Musyawarah dilakukan dengan
akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
9.
Keputusan yang diambil harus
dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan
mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10.
Memberikan kepercayaan kepada
wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
Ø
Sila kelima (Padi Dan
Kapas)
1.
Mengembangkan perbuatan yang
luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2.
Mengembangkan sikap adil
terhadap sesama.
3.
Menjaga keseimbangan antara hak
dan kewajiban.
4.
Menghormati hak orang lain.
5.
Suka memberi pertolongan kepada
orang lain agar dapat berdiri sendiri.
6.
Tidak menggunakan hak milik
untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
7.
Tidak menggunakan hak milik untuk
hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
8.
Tidak menggunakan hak milik
untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
9.
Suka bekerja keras.
10.
Suka menghargai hasil karya
orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
11.
Suka melakukan kegiatan dalam
rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses,
berpandangan bahwa semua realitas dalam alam mengalami proses atau perubahan,
yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik dan suatu proses
yang terus menerus “menjadi”, walaupun unsur permanensi realitas dan identitas
diri dalam perubahan tidak boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula
dikenakan pada ideologi Pancasila sebagai suatu realitas (pengada).
Pancasila termasuk dalam ideologi terbuka.
Ideologi pancasila sebagai dasar pengembangan keterbukaannya adalah hakikat
kodrat manusia monopluralis, sehingga unsur moral menjadi landasan
kebijaksanaan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada. Ideologi terbuka
menurut Koento Wibisono,memiliki ciri-ciri kekhususannya, yaitu bersifat
realis, bersifat idealis, dan bersifat fleksibel.
Baca Juga : KEWARGANEGARAAN : HAKIKAT EDIOLOGI
BAB II
IMPLEMENTASI PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA DAN IDEOLOGI NASIONAL
II.1. Implementasi Pancasila sebagai Dasar
Negara
Implementasi Pancasila sebagai dasar Negara
diwujudkan dengan pembentukan sistem hukum nasional dalam suatu tertib hukum (legal
order) dimana Pancasila menjadi norma dasarnya. Pancasila sebagai dasar negara dapat disebut
sebagai :
1.
Norma
dasar
2.
Staatsfundamentalnorm
3.
Norma
pertama
4.
Cita Hukum (Rechtsidee)
Berikut ini jenjang kelompok Norma di
Indonesia :
Hierarkhi Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia berdasarkan UU No 10 Tahun 2004 yaitu :
1.
UUD 1945
2.
UU/Perpu
3.
Peraturan Pemerintah
4.
Peraturan Presiden
5.
Peraturan Daerah meliputi :
·
Peraturan Daerah Provinsi
·
Peraturan Daerah Kota/Kabupaten
·
Peraturan Desa
II.1.1. Pancasila
Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia
·
Pancasila yang dikukuhkan dalam
sidang I dari BPPK pada tanggal 1 Juni 1945 adalah di kandung maksud untuk
dijadikan dasar bagi negara Indonesia merdeka. Adapun dasar itu haruslah berupa
suatu filsafat yang menyimpulkan kehidupan dan cita-cita bangsa dan negara
Indonesa yang merdeka. Di atas dasar itulah akan didirikan gedung Republik
Indonesia sebagai perwujudan kemerdekaan politik yang menuju kepada kemerdekaan
ekonomi, sosial dan budaya.
·
Sidang BPPK telah menerima
secara bulat Pancasila itu sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Dalam
keputusan sidang PPKI kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila tercantum
secara resmi dalam Pembukaan UUD RI, Undang-Undang Dasar yang menjadi sumber
ketatanegaraan harus mengandung unsur-unsur pokok yang kuat yang menjadi
landasan hidup bagi seluruh bangsa dan negara, agar peraturan dasar itu tahan
uji sepanjang masa.
·
Peraturan selanjutnya yang
disusun untuk mengatasi dan menyalurkan persoalan-persoalan yang timbul
sehubungan dengan penyelenggaraan dan perkembangan negara harus didasarkan atas
dan berpedoman pada UUD. Peraturan-peraturan yang bersumber pada UUD itu
disebut peraturan-peraturan organik yang menjadi pelaksanaan dari UUD.
·
Oleh karena Pancasila tercantum
dalam UUD 1945 dan bahkan menjiwai seluruh isi peraturan dasar tersebut yang
berfungsi sebagai dasar negara sebagaimana jelas tercantum dalam alinea IV
Pembukaan UUD 1945 tersebut, maka semua peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia (Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah sebagai pengganti
Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan-peraturan
pelaksanaan lainnya) yang dikeluarkan oleh negara dan pemerintah Republik
Indonesia haruslah pula sejiwa dan sejalan dengan Pancasila (dijiwai oleh dasar
negara Pancasila). Isi dan tujuan dari peraturan perundang-undangan Republik Indonesia
tidak boleh menyimpang dari jiwa Pancasila. Bahkan dalam Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 ditegaskan, bahwa Pancasila itu adalah sumber dari segala sumber
huum (sumber huum formal, undang-undang, kebiasaan, traktaat, jurisprudensi,
hakim, ilmu pengetahuan hukum).
·
Di sinilah tampak titik
persamaan dan tujuan antara jalan yang ditempuh oleh masyarakat dan penyusun
peraturan-peraturan oleh negara dan pemerintah Indonesia.
·
Adalah suatu hal yang
membanggakan bahwa Indonesia berdiri di atas fundamen yang kuat, dasar yang
kokoh, yakni Pancasila dasar yang kuat itu bukanlah meniru suatu model yang
didatangkan dari luar negeri.
·
Dasar negara kita berakar pada
sifat-sifat dan cita-cita hidup bangsa Indonesia, Pancasila adalah penjelmaan
dari kepribadian bangsa Indonesia, yang hidup di tanah air kita sejak dahulu
hingga sekarang.
·
Pancasila mengandung
unsur-unsur yang luhur yang tidak hanya memuaskan bangsa Indonesia sebagai
dasar negara, tetapi juga dapat diterima oleh bangsa-bangsa lain sebagai dasar
hidupnya. Pancasila bersifat universal dan akan mempengaruhi hidup dan
kehidupan banga dan negara kesatuan Republik Indonesia secara kekal dan abadi.
II.1.2. Pancasila Sebagai
Dasar Falsafah Negara Dalam Pembukaan UUD 1945 Setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang
No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum untuk memilih anggota-anggota DPR dan
Konstituante yang akan menyusun UUD baru.
Pada akhir tahun 1955 diadakan
pemilihan umum pertama di Indonesia dan Konstituante yang dibentuk mulai bersidang
pada tanggal 10 November 1956.
Dalam perjalanan sejarah
ketatanegaraan selanjutnya. Konstituante gagal membentuk suatu UUD yang baru
sebagai pengganti UUDS 1950.
Dengan kegagalan konstituante
tersebut, maka pada tanggal 5 Juli 1950 Presiden RI mengeluarkan sebuah Dekrit
yang pada pokoknya berisi pernyatan :
1.
Pembubaran Konstuante.
2.
Berlakunya kembali UUD 1945.
3.
Tidak berlakunya lagi UUDS
1950.
4.
Akan dibentuknya dalam waktu
singkat MPRS dan DPAS.
Dengan berlakunya kembali UUD 1945,
secara yuridis, Pancasila tetap menjadi dasar falsafah negara yang tercantum
dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV dengan perumusan dan tata urutan seperti
berikut :
·
Ketuhanan Yang Maha
Esa.
·
Kemanusiaan yang adil dan
beradab.
·
Persatuan Indonesia.
·
Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
·
Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Dengan instruksi
Presiden Republik Indonesia No. 12 Tahun 1968, tertanggal 13 April 1968,
perihal : Penegasan tata urutan/rumusan Pancasila yang resmi, yang harus
digunakan baik dalam penulisan, pembacaan maupun pengucapan sehari-hari.
Instruksi ini ditujukan kepada : Semua Menteri Negara dan Pimpinan Lembaga /
Badan Pemerintah lainnya.
Tujuan dari pada Instruksi ini adalah
sebagai penegasan dari suatu keadaan yang telah berlaku menurut hukum, oleh
karena sesuai dengan asas hukum positif (Ius Contitutum) UUD 1945 adalah
konstitusi Indonesia yang berlaku sekarang. Dengan demikian secara yuridis
formal perumusan Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 itulah yang
harus digunakan, walaupun sebenarnya tidak ada Instruksi Presiden RI No.
12/1968 tersebut.
Prof. A.G. Pringgodigdo, SH dalam
bukunya “Sekitar Pancasila” peri-hal perumusan Pancasila dalam berbagai
dokumentasi sejarah mengatakan bahwa uraian-uraian mengenai dasar-dasar negara
yang menarik perhatian ialah yang diucapkan oleh :
·
Mr. Moh. Yamin pada tanggal 29
Mei 1945.
·
Prof. Mr. Dr. Soepomo pada
tanggal 31 Mei 1945.
·
Ir. Soekarno pada tanggal 1
Juni 1945.
Walaupun ketiganya mengusulkan 5 hal
pokok untuk sebagai dasar-dasar negara merdeka, tetapi baru Ir. Soekarno yang
mengusulkan agar 5 dasar negara itu dinamakan Pancasila dan bukan Panca Darma.
Jelaslah bahwa perumusan 5 dasar
pokok itu oleh ketiga tokoh tersebut dalam redaksi kata-katanya berbeda tetapi
inti pokok-pokoknya adalah sama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Prikemanusiaan
atau internasionalisme, Kebangsaan Indonesia atau persatuan Indonesia,
Kerakyatan atau Demokrasi dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ir. Soekarno dalam pidatonya tanggal
1 Juni 1945 menegaskan : Maksud Pancasila adalah philosophschegrondslag itulah fundament falsafah, pikiran
yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung “Indonesia Merdeka Yang
Kekal dan Abadi”.
Prof. Mr. Drs. Notonagoro dalam pidato
Dies Natalis Universitas Airlangga Surabaya pada tanggal 10 November 1955
menegaskan : “Susunan Pancasila itu adalah suatu kebulatan yang bersifat
hierrarchies dan piramidal yang mengakibatkan adanya hubungan organis di antara
5 sila negara kita”.
Prof. Mr. Muhammad Yamin dalam
bukunya “Proklamasi dan Konstitusi” (1951) berpendapat : “Pancasila itu sebagai
benda rohani yang tetap dan tidak berubah sejak Piagam Jakarta sampai pada hari
ini”.
Kemudian pernyataan dan pendapat
Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan Prof. Mr. Muhamamd Yamin tersebut diterima dan
dikukuhkan oleh MPRS dalam Ketetapan No. XX/MPRS/1960 jo Ketetapan No.
V/MPR/1973.
II.1.3. Pengertian Pancasila Secara Termitologis
Proklamasi 17
Agustus 1945 telah melahirkan Negara RI untuk melengkapai alat2 Perlengkapan
Negara PPKI mengadakan sidang pada tanggal 18 Agustus 1945 dan berhasil
mengesahkan UUD 45 dimana didalam bagian Pembukaan yang terdiri dari 4 Alinea
didalamnya tercantum rumusan Pancasila. Rumusan Pancasila tersebut secara
Konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara RI yang disahkan oleh PPKI
yang mewakili seluruh Rakyat Indonesia. Pancasila
Berbentuk:
1.
Hirarkis (berjenjang);
2.
Piramid.
A.
Pancasila
menurut Mr. Moh Yamin adalah yang disampaikan di dalam sidang BPUPKI
pada tanggal 29 Mei 1945 isinya sebagai berikut:
1.
Prikebangsaan
2.
Prikemanusiaan
3.
Priketuhanan
4.
Prikerakyatan
5.
Kesejahteraan
Rakyat
B.
Pancasila
menurut Ir. Soekarno yang disampaikan pada tangal 1 Juni 1945 di
depan sidang BPUPKI, sebagai berikut:
1.
Nasionalisme/Kebangsaan
Indonesia
2.
Internasionalisme/Prikemanusiaan
3.
Mufakat/Demokrasi
4.
Kesejahteraan
Sosial
5.
Ketuhanan
yang berkebudayaan
Presiden Soekarno mengusulkan ke-5
Sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila yaitu:
1.
Sosio
Nasional : Nasionalisme dan Internasionalisme
2.
Sosio
Demokrasi : Demokrasi dengan kesejahteraan rakyat
3.
Ketuhanan
YME
Dan masih menurut Ir. Soekarno
Trisila masih dapat diperas lagi menjadi Ekasila atau Satusila yang intinya
adalah Gotong Royong.
C.
Pancasila
menurut Piagam Jakarta yang
disahkan pada tanggal 22 Juni 1945 rumusannya sebagai berikut:
1.
Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab;
3.
Persatuan
Indonesia;
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan permusyawaratan perwakilan;
5.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat indonesia;
Kesimpulan dari bermacam-macam
pengertian pancasila tersebut yang sah dan benar secara Konstitusional adalah
pancasila yang tercantum dalam Pembukaan Uud 45, hal ini diperkuat dengan
adanya ketetapan MPRS NO.XXI/MPRS/1966 dan Inpres No. 12 tanggal 13 April 1968
yang menegaskan bahwa pengucapan, penulisan dan Rumusan Pancasila Dasar Negara
RI yang sah dan benar adalah sebagai mana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Setiap negara harus mempunyai dasar
negara. Dasar negara merupakan
fundamen atau pondasi dari bangunan negara. Kuatnya fundamen negara akan
menguatkan berdirinya negara itu. Kerapuhan fundamen suatu negara, beraikbat
lemahnya negara tersebut. Sebagai dasar negara Indonesia, Pancasila sering
disebut sebagai dasar falsafah negara (filosofische gronslag dari negara),
Staats fundamentele norm, weltanschauung dan juga diartikan sebagai
ideologi negara (staatsidee).
Negara kita Indonesia. Dalam
pengelolaan atau pengaturan kehidupan bernegara ini dilandasi oleh filsafat
atau ideologi pancasila. Fundamen negara ini harus tetap kuat dan kokoh serta
tidak mungkin diubah. Mengubah fundamen, dasar, atau ideology berarti mengubah
eksistensi dan sifat negara. Keutuhan negara dan bangsa bertolak dari sudut
kuat atau lemahnya bangsa itu berpegang kepada dasar negaranya.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara yaitu Pancasila sebagai dasar dari penyelenggaraan kehidupan bernegara
bagi negara Republik Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara
seperti tersebut di atas, sesuai dengan apa yang tersurat dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alenia 4 antara lain menegaskan: “….., maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalm permusyawaratan perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Dengan kedudukan yang istimewa
tersebut, selanjutnya dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara memiliki
fungsi yang kuat pula. Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 menggariskan
ketentuan-ketentuan yang menunjukkan fungsi pancasila dalam proses
penyelenggaraan kehidupan bernegara. Berikut ini dikemukakan
ketentuan-ketentuan yang menunujukkan fungsi dari masing-masing sila pancasila
dalam proses penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan
fungsi sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu: kehidupan bernegara bagi Negara
Republik Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama serta untuk beribadah
menurut agama dan kepercayaannnya, negara menghendaki adanya toleransi dari
masing-masing pemeluk agama dan aliran kepercayaan yang ada serta diakui
eksistensinya di Indonesia, negara Indonesia memberikan hak dan kebebasan
setiap warga negara terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Selanjutnya ketentuan-ketentuan yang
menunjukkan fungsi sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, antara lain :
pengakuan negara terhadap hak bagi setiap bangsa untuk menentukan nasib
sendiri, negara menghendaki agar manusia Indonesia tidak memeperlakukan sesame
manusia dengan cara sewenang-wenang sebagai manifestasi sifat bangsa yang
berbudaya tinggi, pengakuan negara terhadap hak perlakuan sama dan sederajat
bagi setiap manusia, jaminan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
serta kewajiban menjunjung tinggi hokum dan pemerintahan yang ada bafi setiap
warga negara.
Ketentuan-ketentuan yang menunjukkan
fungsi sila Persatuan Indonesia, yaitu: perlindungan negara terhadp segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiba dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, negara mengatasi
segala paham golongan dan segala paham perseorangan, serta pengakuan negara
terhadap kebhineka-tunggal-ikaan dari bangsa Indonesia dan kehidupannya.
Selanjutnya ketentuan-ketentuan yang
menunjukkan fungsi sila Kerkyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawarata perwakilan, yaitu: penerapan kedaulatan dalam negara Indonesia
yang berada di tangan rakyat dan dilakukan oleh MPR, penerapan azas musyawarah
dan mufakat dalam pengambilan segala keputusan dalam negara Indonesia, dan baru
menggunakan pungutan suara terbanyak bila hal tersebut tidak dapat dilaksanakan,
jaminan bahwa seluruh warga negara dapat memperoleh keadlan yang sama
sebagai formulasi negara hokum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka, serta
penyelenggaraan kehidupan bernegara yang didasarkan atas konstitusi dan tidak
bersifat absolute.
Yang terakhir adalah ketentuan-ketentuan
yang menunjukkan fungsi sila Keadlan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,
antara lain: negara menghendaki agar perekonomian Indonesia berdasarkan atas
azas kekeluaraan, penguasaan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
serta menguasai hajat hidup orang banyak oleh negara, negara menghendaki agar
kekayaan alam yang terdapat di atas dan di dalam bumi dan air Indonesia dipergunakan
untuk kemakmuran rakyat banyak, negara menghendaki agar setiap warga negara
Indonesia mendapat perlakuan yang adil di segala bidang kehidupan, baik
material maupun spiritual, negara menghendaki agar setiap warga negara
Indonesia memperoleh pengajaran secara maksimal, negara Republik Iindonesia
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang
pelaksanaannya ditur berdasarkan Undang-Undang, pencanangan bahwa pemerataan
pendidikan agar dapat dinikmati seluruh warga negara Indonesia menjadi tanggung
jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan keluarga, dan negara berusaha
membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
Sebagai dasar negara, Pancasila
kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang. Pada bulan Juni
1945,64 tahun yang lalu, lahirlah sebuah konsepsi kenengaraan yang sangat
bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila.
Sebagai falsafah negara, tentu
Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang merupakan karunia terbesar
dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia
di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan
kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta
sebagai pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang
jelas tadi telah diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik
Indonesia.
Pancasila telah ada dalam segala
bentuk kehidupan rakyat Indonesia, terkecuali bagi mereka yang tidak
Pancasilais. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945
bersama-sama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan
Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua,
Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dan
kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah Indonesia telah mencatat
bahwa di antara tokoh perumus Pancasila itu ialah, Mr Mohammad Yamin, Prof Mr
Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan
selalu dapat bertahan dari guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu
pertama ialah karena secara intrinsik dalam Pancasila itu mengandung toleransi,
dan siapa yang menantang Pancasila berarti dia menentang toleransi.
Kedua, Pancasila merupakan wadah yang
cukup fleksibel, yang dapat mencakup faham-faham positif yang dianut oleh
bangsa Indonesia, dan faham lain yang positif tersebut mempunyai keleluasaan
yang cukup untuk memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari
Pancasila itu terdiri dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai
dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang
bertentangan, pasti akan ditolak oleh Pancasila, misalnya Atheisme dan segala
bentuk kekafiran tak beragama akan ditolak oleh bangsa Indonesia yang bertuhan
dan ber-agama.
Diktatorisme juga ditolak, karena
bangsa Indonesia berprikemanusiaan dan berusaha untuk berbudi luhur.
Kelonialisme juga ditolak oleh bangsa Indonesia yang cinta akan kemerdekaan.
Sebab yang keempat adalah, karena bangsa Indonesia yang sejati sangat cinta
kepada Pancasila, yakin bahwa Pancasila itu benar dan tidak bertentangan dengan
keyakinan serta agamanya.
Dengan demikian bahwa falsafah
Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia yang harus diketahui oleh
seluruh warga negara Indonesia agar menghormati, menghargai, menjaga dan
menjalankan apa-apa yang telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan
proklamasi yang telah berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga
baik golongan muda maupun tua tetap meyakini Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia tanpa adanya keraguan guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa
dan negara Indonesia.
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara
diperoleh dari alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam
Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI atas nama rakyat
Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia. Memorandum DPR-GR itu
disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan
MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum
di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang
pertama dan utama, yakni sebagai dasar negara (philosophische grondslaag)
Republik Indonesia. Pancasila yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan
UUD 1945 tersebut ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945
oleh PPKI yang dapat dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat
Indonesia yang merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa
menurut Ernest Renan: kehendak untuk bersatu (le
desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari sejarahnya dapat
diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan konsensus nasional
karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh semua golongan dan lapisan
masyarakat Indonesia.
Maka Pancasila merupakanintelligent
choice karena mengatasi keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan
tetap toleran terhadap adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar
negara tak hendak menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi
merangkum semuanya dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan
dalam seloka “Bhinneka Tunggal Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat
pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika kita hendak
mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak
masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas aliran pikiran
Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak mempersatukan diri
dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak mempersatukan diri
dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi segala golongan dan
segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar
negara itu memberikan pengertian bahwa negara Indonesia adalah Negara
Pancasila. Hal itu mengandung arti bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela
dan melaksanakannya dalam seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu,Kirdi Dipoyudo (1979:30) menjelaskan: “Negara
Pancasila adalah suatu negara yang didirikan, dipertahankan dan dikembangkan
dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi
semua warga bangsa Indonesia (kemanusiaan yang adil dan beradab), agar
masing-masing dapat hidup layak sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan
mewujudkan kesejahteraannya lahir batin selengkap mungkin, memajukan
kesejahteraan umum, yaitu kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan
mencerdaskan kehidupan bangsa (keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan
Pancasila secara integral (utuh dan menyeluruh) sehingga merupakan penopang
yang kokoh terhadap negara yang didirikan di atasnya, dipertahankan dan
dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan mengembangkan martabat dan
hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan
martabat kemanusiaan itu merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia
qua talis, manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945 dan ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi
Presiden No.12 Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas) memiliki hubungan yang saling
mengikat dan menjiwai satu sama lain sedemikian rupa hingga tidak dapat
dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan mencari pembenarannya pada sila
lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena itu, Pancasila pun harus dipandang
sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Usaha memisahkan sila-sila dalam kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila
akan menyebabkan Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan
mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh
ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama
lain. Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila dengan
menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk piramid
Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai oleh sila
“Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan: “Tiap-tiap orang
beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, Pancasila bukanlah sesuatu yang
perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4 dari Pancasila sebenarnya hanyalah
akibat saja dari sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan demikian
dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara sesungguhnya berisi:
1.
Ketuhanan
yang Maha Esa, yang
ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang
ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, serta ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab, yang
ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan
ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
3.
Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil
dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
4.
Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil
dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
5.
Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa,
yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan
ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan.
Isi Pembukaan UUD 1945 adalah
nilai-nilai luhur yang universal sehingga Pancasila di dalamnya merupakan dasar
yang kekal dan abadi bagi kehidupan bangsa. Gagasan vital yang menjadi isi
Pancasila sebagai dasar negara merupakan jawaban kepribadian bangsa sehingga
dalam kualitas awalnya Pancasila merupakan dasar negara, tetapi dalam
perkembngannya menjadi ideologi dari berbagai kegiatan yang berimplikasi
positif atau negatif.
Pancasila bertolak belakang dengan
kapitalisme ataupun komunisme. Pancasila justru merombak realitas
keterbelakangan yang diwariskan Belanda dan Jepang untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur. Pancasila sudah berkembang menjadi berbagai tahap semenjak
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu :
1.
Tahun 1945-1948 merupakan tahap
politis. Orientasi Pancasila diarahkan pada Aand character building. Semangat
persatuan dikobarkan demi keselamatan NKRI terutama untuk menanggulangi ancaman
dalam negeri dan luar negeri. Di dalam tahap dengan atmosfer politis dominan,
perlu upaya memugar Pancasila sebagai dasar negara secara ilmiah filsafati.
Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandangan dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan yang dalam karya-karyanya ditunjukkan segi ontologik, epismologik
dan aksiologiknya sebagai raison d’etre bagi Pancasila (Notonagoro, 1950).
Resonansi Pancasila yang tidak bisa diubah siapapun
tecantum pada Tap MPRS No. XX/MPRS/1966. Dengan keberhasilan menjadikan
“Pancasila sebagai asas tunggal”, maka dapatlah dinyatakan bahwa persatuan dan
kesatuan nasional sebagai suatu state building.
2.
Tahun 1969-1994 merupakan tahap
pembangunan ekonomi sebagai upaya mengisi kemerdekaan melalui Pembangunan
Jangka Panjang Pertama (PJP I). Orientasinya diarahkan pada ekonomi, tetapi
cenderung ekonomi menjadi “ideologi”.
Secara politis pada tahap ini bahaya yang dihadapi tidak
sekedar bahaya latent sisa G 30S/PKI, tetapi efek PJP 1 yang menimbulkan
ketidakmerataan pembangunan dan sikap konsumerisme. Hal ini menimbulkan
kesenjangan sosial yang mengancam pada disintegrasi bangsa.
Distorsi di berbagai bidang kehidupan perlu diantisipasi
dengan tepat tanpa perlu mengorbankan persatuan dan kesatuan nasional.
Tantangan memang trerarahkan oleh Orde Baru, sejauh mana pelakasanaan
“Pancasila secara murni dan konsekuen” harus ditunjukkan.
Komunisme telah runtuh karena adanya krisis ekonomi
negara “ibu” yaitu Uni Sovyet dan ditumpasnya harkat dan martaba tmanusia
beserta hak-hak asasinya sehingga perlahan komunisme membunuh dirinya sendiri.
Negara-negara satelit mulai memisahkan diri untuk mencoba paham demokrasi yang
baru. Namun, kapitalisme yang dimotori Amerika Serikat semakin meluas seolah
menjadi penguasa tunggal. Oleh karena itu, Pancasila sebagai dasar negara tidak
hanya sekedar dihantui oleh bahaya subversinya komunis, melainkan juga harus
berhadapan dengan gelombang aneksasinya kapitalisme.
3.
Tahun 1995-2020 merupakan tahap
“repostioning” Pancasila. Dunia kini sedang dihadapkan pada gelombang perubahan
yang cepat sebagai implikasi arus globalisasi.
Globalisasi sebagai suatu proses pada hakikatnaya telah
berlangsung jauh sebelum abad ke-20 sekarang, yaitu secara bertahap, berawal
“embrionial” di abad 15 ditandai dengan munculnyanegara-negara kebangsaan,
munculnya gagasan kebebasan individu yang dipacu jiwa renaissance dan
aufklarung.
Hakikat globalisasi sebagai suatu kenyataan subyektif
menunjukkan suatu proses dalam kesadran manusia yang melihat dirinya sebagai
partisipan dalam masyarakat dunia yang semakin menyatu, sedangkana kenyataan
obyektif globlaisasi merupakan proses menyempitnya ruang dan waktu,
“menciutnya” dunia yang berkembang dalam kondisi penuh paradoks.
Menghadapi arus globalisasi yang semakin pesat,
keurgensian Pancasila sebagai dasar negara semakin dibutuhkan. Pancasila dengan
sifat keterbukaanya melalui tafsir-tafsir baru kita jadikan pengawal dan
pemandu kita dalam menghadapi situasi yang serba tidak pasti. Pancasila
mengandung komitmen-komitmen transeden yang memiliki “mitosnya” tersendiri
yaitu semua yang “mitis kharismatis” dan “irasional” yang akan tertangkap arti
bagi mereka yang sudah terbiasa berfikir secara teknis-positivistik dan
pragmatis semata.
Nilai-nilai luhur yang telah dipupuk
sejak pergerakan nasional kini telah tersapu oleh kekuasaan Orde Lama dan Orde
Baru. Orde Lama mengembangkan Pancasila sebagai dasar negara tidak sebagai
sesuatu substantif, melainkan di-instumentalisasi-kan sebagai alat politik
semata. Demikian pula di Orde Baru yang “berideologikan ekonomi”, Pancasila
dijadikan asas tunggal yang dimanipulasikan untuk KKN dan kroni-isme dengan
mengatasnamakan sebagai Mandatoris MPR.
Baca juga : KEWARGANEGARAAN : HAKIKAT EDIOLOGI
Baca juga : KEWARGANEGARAAN : HAKIKAT EDIOLOGI
Kini terjadi krisis politik dan
ekonomi karena pembangunan menghadapi jalan buntu. Krisis moral budaya juga
timbul sebagai implikasi adanya krisis ekonomi. Masyarakat telah kehilangan
orientasi nilai dan arena kehidupan menjadi hambar, kejam, gersang dalam
kemiskinan budaya dan kekeringan spiritual. Pancasila malah diplesetkan menjadi
suatu satire, ejekan dan sindiran dalam kehidupan yang penuh paradoks.
Pembukaan UUD 1945 dengan nilai-nilai
luhurnya menjadi suatu kesatuan integral-integratif dengan Pancasila sebagai
dasar negara. Jika itu diletakkan kembali, maka kita akan menemukan landasan
berpijak yang sama, menyelamatkan persatuan dan kesatuan nasional yang kini
sedang mengalami disintegrasi. Revitalisasi Pancasila sebagai dasar negara
mengandung makna bahwa Pancasila harus diletakkan utuh dengan pembukaan,
di-eksplorasi-kan dimensi-dimensi yang melekat padanya, yaitu :
Realitasnya: dalam arti bahwa
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikonkretisasikan sebagai kondisi cerminan
kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dlam masyarakat.
Idealitasnya: dalam arti bahwa
idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna,
melainkan diobjektivasikan sebagai “kata kerja” untuk membangkitkan gairah dan
optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif,
menuju hari esok lebih baik.
Fleksibilitasnya:dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai
dan mandeg dalam kebekuan oqmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir
baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang berkembang. Dengan demikian tanpa
kehilangan nilai hakikinya, Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta
fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara
dengan jiwa dan semangat “Bhinneka tunggal Ika”.
Revitalisasi Pancasila Pancasila
sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan moral, sehingga moralitas
Pancasila dapat dijadikan sebagai dasar dan arah dalam upaya mengatasi krisis
dan disintegrasi. Moralitas juga memerlukan hukum karena keduanya terdapat
korelasi. Moralitas yang tidak didukung oleh hukum kondusif akan terjadi
penyimpangan, sebaliknya, ketentuan hukum disusun tanpa alasan moral akan
melahirkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Dalam upaya merevitalisasi Pancasila
sebagai dasar negara maka disiapkan lahirnya generasi sadar dan terdidik. Sadar
dalam arti generasi yang hati nuraninya selalu merasa terpanggil untuk
melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila, terdidik dalam arti
generasi yang mempunyai kemampuan dan kemandirian dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan sebagai sarana pengabdian kepada bangsa dan negara. Dengan demikian
akan dimunculkan generasi yang mempunyai ide-ide segar dalam mengembangkan
Pancasila.
Hanya dengan pendidikan bertahap dan
berkelanjutan, generasi sadar dan terdidik akan dibentuk, yaitu yang mengarah
pada dua aspek. Pertama, pendidikan untuk memberikan bekal pengetahuan dan
pengalaman akademis, ketrampilan profesional, dan kedalaman intelektual,
kepatuhankepada nilai-nilai (it is matter of having). Kedua, pendidikan
untuk membentuk jatidiri menjadi sarjana yang selalu komitmen dengan
kepentingan bangsa (it is matter of being).
Bangsa Indonesia dihadapkan pada
perubahan, tetapi tetap harus menjaga budaya-budaya lama. Sekuat-kuatnya
tradisi ingin bertahan, setiap bangsa juga selalu mendambakan kemajuan. Setiap
bangsa mempunyai daya preservasi dan di satu pihak daya progresi di lain pihak.
Kita membutuhkan telaah-telaah yang kontekstual, inspiratif dan evaluatif.
Perevitalisasikan Pancasila sebagai
dasar negara dalam, kita berpedoman pada wawasan :
1.
Spiritual, untuk meletakkan landasan etik, moral, religius sebagai dasar dan
arah pengembangan profesi
2.
Akademis, menunjukkan bahwa MKU Pancasila adalah aspek being, tidak sekedar
aspek having
3.
Kebangsaan, menumbuhkan kesadaran nasionalisme
4.
Mondial, menyadarkan manusia dan bangsa harus siap menghadapi dialektikanya
perkembangan dalam mayaraka dunia yang “terbuka”
Dalam kondisi kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sedang dilanda oleh arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila
tidak terhindar dari berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap
kredibilitasnya. Namun perlu kita sadari bahwa tanpa adanya “platform” dalam
dasar negara atau ideologi maka suatu bangsa mustahil akan dapat bertahan dalam
menghadapi berbagai tantangan dan ancaman.
Melalui pemahaman inilah Pancasila
dikembangkan dalam semangat demokrasi yang secara konsensual akan dapat
mengembangkan nilai praktisnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang
serba pluralistik. Selain itu melestarikan dan mengembangkan Pancasila sebagai
dasar negara sebagaimana telah dirintis dan ditradisikan oleh para pendahulu,
merupakan suatu kewajiban etis dan moral yang perlu diyakinkan oleh generasi
sekarang.
II.2. Implementasi
Pancasila Sebagai Ideologi Nasional
Dalam ideologi terkandung nilai-nilai.
Nilai-nilai itu dianggap sebagai nilai yang baik, luhur dan dianggap
menguntungkan masyarakat sehingga diterima nilai tersebut. Oleh karena itu,
ideologi digambarkan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama.
Seperangkat nilai yang dianggap benar, baik dan adil dan menguntugkan itu
dijadikan nilai bersama. Apabila sekelompok masyarakat bangsa menjadikan nilai
dalam ideologi sebagai nilai bersama maka ideologi tersebut menjadi ideologi
bangsa atau ideologi nasional bangsa yang bersangkutan.
Ada 2 (dua) fungsi utama ideologi dalam
masyarakat, yaitu :
1.
Sebagai tujuan atau cita-cita yang hendak dicapai secara bersama oleh
suatu masyarakat
2.
Sebagai pemersatu masyarakat dan karena sebagai prosedur penyelesaian
konflik yang terjadi di masyarakat
Pengimplementasian pancasila sebagai sebuah
ideologi nasional sudah tertuang pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
RI No. VII/MPR?2011 tanggal 09 november 2001 tentang visi indonesia masa depan.
Visi indonesia masa depan terdiri dari tiga
visi yaitu :
1.
Visi ideal, yaitu cita-cita
luhur sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
1945.
2.
Visi antara, yaitu visi Indonesia
2020 yang berlaku sampai dengan tahun 2020. Visi tersebut adalah terwujudnya
masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil,
sejahtera, maju, mandiri serta baik dan berseih dalam penyelenggaraan negara.
3.
Visi lima tahunan sebagaimana
termaktub dalam garis-garis besar haluan negara.
BAB III
PENUTUP
III.1.
Kesimpulan
Setelah memperhatikan isi dalam
pembahasan di atas, maka dapat penulis tarik kesimpulan sebagai berikut:
Filsafat Pancasila adalah hasil berpikir/pemikiran
yang sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan
diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling
benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa
Indonesia.
Fungsi utama filsafat Pancasila bagi
bangsa dan negara Indonesia yaitu:
- Filasafat Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia
- Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
- Pancasila sebagai jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia
- Falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia, hal tersebut dapat dibuktikan dengan ditemukannya dalam beberapa dokumen historis dan di dalam perundang-undangan negara Indonesia seperti di bawah ini :
a.
Dalam Pidato Ir. Soekarno
tanggal 1 Juni 1945.
b.
Dalam Naskah Politik yang
bersejarah, tanggal 22 Juni 1945 alinea IV yang kemudian dijadikan naskah
rancangan Pembukaan UUD 1945 (terkenal dengan sebutan Piagam Jakarta).
c.
Dalam naskah Pembukaan UUD
Proklamasi 1945, alinea IV.
d.
Dalam Mukadimah Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS)
tanggal 27 Desember 1945,
alinea IV.
e.
Dalam Mukadimah UUD Sementara
Republik Indonesia (UUDS RI) tanggal 17 Agustus 1950.
f.
Dalam Pembukaan UUD 1945,
alinea IV setelah Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959.
III.2. Saran
Warganegara Indonesia merupakan
sekumpulan orang yang hidup dan tinggal di negara Indonesia Oleh karena itu
sebaiknya warga negara Indonesia harus lebih meyakini atau mempercayai,
menghormati, menghargai menjaga, memahami dan melaksanakan segala hal yang
telah dilakukan oleh para pahlawan khususnya dalam pemahaman bahwa falsafah
Pancasila adalah sebagai dasar falsafah negara Indonesia. Sehingga kekacauan
yang sekarang terjadi ini dapat diatasi dan lebih memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa dan negara Indonesia ini.
Baca Juga : KEWARGANEGARAAN : HAKIKAT EDIOLOGI
DAFTAR PUSTAKA
Nopirin. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah
Pancasila, Cet. 9. Jakarta: Pancoran Tujuh.
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah
Pancasila, Cet. 9. Jakarta: Pantjoran Tujuh.
Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka
Cipta
Sumber Lain :
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/filsafat/index.htm
http:// www.google.co.id
http:// www.teoma.com
http:// www.kumpulblogger.com